AL WAFA’
(KESETIAAN)
Hari
itu Rasulullah saw kembali ke rumah tidak seperti biasanya. Saat itu beliau
kembali dengan muka pucat, tubuh gemetar dan raut muka yang menyiratkan rasa
ketakutan yang sangat dalam. Beliau baru saja mengalami satu peristiwa yang
belum pernah beliau temui sebelumnya. Peristiwa turunnya wahyu Allah swt yang
pertama kali. Wahyu yang sekiranya diturunkan kepada gunung sekalipun, niscaya
gunung itu akan tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah swt (QS Al
Hasyr: 21).
Melihat
suaminya dalam keadaan seperti itu, Khadijah -Radhiyallahu ‘anha- segera mengambil tindakan. Dia selimuti
suaminya, dan dia dekap erat-erat. Dan yang lebih penting dari semua itu, dia
katakan dengan penuh keyakinan, ketulusan dan kejujuran kalimat-kalimat berikut
ini:
“Demi
Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selamanya, demi Allah, sungguh engkau
telah menyambung persanakan (shilatur-rahim),
benar dalam berbicara, memikul beban orang yang kepayahan, membantu orang yang
tidak mampu, menyuguhkan hidangan kepada tamu, dan membantu orang-orang yang
tertimpa musibah …”. (Muttafaqun ‘alaih).
Sebuah
ucapan yang menunjukkan sifat wafa’
yang luar biasa. Coba bayangkan, bukankah pernikahan antara Rasulullah saw
dengan Khadijah telah berjalan lima
belas (15) tahun?! Meskipun demikian, yang keluar dari mulut Khadijah dengan
fasih adalah daya ingatnya terhadap berbagai kebaikan Rasulullah saw. Sebuah
pengakuan atas kebaikan dan jasa orang lain yang luar biasa. Kenapa pada
saat-saat yang genting seperti itu yang diingat oleh Khadijah adalah kebaikan
Rasulullah saw?
Bukan
hanya itu.
Khadijah
segera membawa nabi Muhammad saw untuk menemui pamannya, Waraqah bin Naufal.
Dari
pertemuan antara nabi Muhammad saw dengan Waraqah bin Naufal, nabi Muhammad saw
semakin yakin, bahwa dirinya benar-benar telah dipilih oleh Allah swt untuk
menjadi nabi dan Rasul.
Bukan
hanya itu saja.
Khadijah
adalah orang pertama yang menyatakan beriman kepada kenabian dan kerasulan nabi
Muhammad saw, sebuah keimanan yang membuat hati Rasulullah saw semakin kuat,
tegar dan mantap.
Bukan
itu saja.
Khadijah
(ra) adalah seorang wanita yang
membela Rasulullah saw saat didustakan oleh kaumnya. Membelanya dengan
kedudukannya, dengan hartanya dan dengan segala yang dimilikinya.
Pada
pihak yang sebaliknya, Rasulullah saw juga sangat wafa’ kepada istrinya itu.
Sepeninggal
Khadijah (ra), Rasulullah saw sering
menyebut-nyebut Khadijah (ra), dan
bila menyembelih kambing atau semacamnya, beliau saw bersabda: “Tolong antarkan
ini kepada si fulanah, dan yang ini kepada si fulanah. Saat ditanyakan kepada
beliau, kenapa mereka? Beliau saw menjawab: “Mereka adalah teman-teman
Khadijah”.
Pernah
suatu kali datang kepada Rasulullah saw seorang wanita yang bernama Halah. Ia
adalah saudari Khadijah. Suaranya, postur tubuhnya dan beberapa hal lainnya
mirip dengan Khadijah.
Begitu
Rasulullah saw mendengar salam Halah, beliau saw langsung terperanjat. Ternyata
yang datang adalah Halah. Karenanya beliau bersabada: Allahumma, Halah (ya Allah, ternyata Halah).
Sikap
wafa’ yang membuat Ummul Mukminin
‘Aisyah (ra) cemburu berat.
Sampai-sampai
pada suatu kali ‘Aisyah (ra) berkata:
“Apa yang bisa engkau perbuat dengan seorang wanita yang sudah tua renta, yang
Allah swt telah menggantikannya dengan yang lebih baik darinya!
Maka
Rasulullah saw menjawab: “Demi Allah, Dia belum memberikan ganti untukku dengan
yang lebih baik darinya …”. (HR Bukhari).
Sikap
kesetiaan yang luar biasa, yang membuat kita bertanya-tanya: “Adakah Rasulullah
saw mengambil hati seseorang yang telah meninggal dunia dan menyebabkan yang
masih hidup marah-marah kepadanya?
Dalam
kesempatan ini ada baiknya kita simak apa penuturan seorang Nashrani yang
mengakui sifat keteladanan nabi saw dalam hal ini:
Berkatalah
DR. Fahmi Lucas: “Aisyah (ra),
seorang istri yang masih muda, yang mempunyai kedudukan tersendiri di hati
suaminya, tidak berani lagi menyinggung-nyinggung Khadijah (ra) setelah kejadian itu.
Apa
yang membuat Muhammad (saw) berbuat seperti itu, yaitu kesetiaan yang begitu
indah yang diberikannya kepada Khadijah (ra).
Kesetiaan yang mejadi pusat keteladanan bagi seluruh suami dan istri. Adakah
Muhammad (saw) mencari hati dari seorang wanita yang telah meninggal dengan
resiko dimarahi oleh istrinya yang masih hidup bersamanya?
Apa
kata yang bisa diungkapkan untuk menggambarkan kesetiaan yang penuh mukjizat
ini, sementara dunia penuh oleh penyelewengan, perselingkuhan, lupa jasa dan
pengkhianatan?”.
Saudara-saudaraku yang dimulyakan Allah!
Tiba saatnya bagi kita untuk kembali memperbaiki
kehidupan rumah tangga kita. Rumah tangga tempat anak-anak, generasi masa depan
menghabiskan waktu-waktunya untuk menempa dan membentuk kepribadiannya.
Tiba saatnya bagi kita untuk menunjukkan dan
memberikan sifat wafa’ kita kepada
pasangan hidup kita, agar anak-anak tumbuh menjadi manusia-manusia yang shalih
dan shalihah yang akan menegakkan diin
Allah di atas muka bumi ini.
Tiba saatnya bagi kita untuk kembali merenungi dan
menteladani Rasulullah saw, dalam hal kesetiaan, ke-bapak-an dan ke-suami-an,
agar tassi (ke-uswah-an) kita menjadi
sempurna, sehingga berkesempatan mengharapkan kehidupan akhirat yang baik.
Dan akhirnya, semoga Allah swt memberikan kekuatan
kepada kita untuk mendengarkan perkataan yang baik, lalu mengikutinya dengan
istiqamah, amiiin. Serial
Taujihat Usbu’iyyah, no: 07